Pentingnya Membangun Budaya Sendiri


(Refleksi 15 Tahun Kabupaten Luwu Timur, 3 Mei 2018)

Oleh: Asri TaddaDirektur Eksekutif The Sawerigading Institute

Kabupaten Luwu Timur akan berusia 15 tahun pada 3 Mei 2018 ini, usia yang sesungguhnya masih teramat muda untuk pembangunan sebuah daerah baru di era desentralisasi dan otonomi daerah. Saat ini Luwu Timur diperhadapkan pada berbagai tantangan yang membutuhkan partisipasi semua pihak untuk mewujudkan visi Kabupaten Luwu Timur Terkemuka 2021.

Dengan kekayaan sumber daya alam yang cukup melimpah pada hampir semua aspek kehidupan, Luwu Timur memiliki potensi untuk berkembang lebih jauh dari saat ini, asalkan pengelolaan dan pengawasan pembangunannya dilakukan dengan baik sesuai dengan aturan yang ada. Saat ini Kabupaten Luwu Timur boleh dianggap sebagai salah satu daerah dengan perkembangan ekonomi yang cukup signifikan.

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah angka Human Development Index (HDI) yang biasa juga disebut Indeks Pembangunan Manusia (IPM), meliputi capaian kemajauan  di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Luwu Timur, IPM Luwu Timur terus mengalami kemajuan selama periode 2011-2016. IPM Luwu Timur meningkat dari 68,94 pada tahun 2011, menjadi 69,75 pada tahun 2014 dan terus meningkat menjadi 70,43 pada tahun 2015. Pencapaian IPM Luwu Timur pada tahun 2016 sudah mencapai 70,95. Selama periode tersebut, IPM Luwu Timur rata-rata tumbuh sebesar 0,59 persen per tahun.

Hanya saja, deretan angka-angka statistik ini belum cukup menggambarkan keseluruhan aspek pembangunan di daerah ini. Sebagaimana diungkapkan Alexander (1994), pembangunan tidak hanya dilihat dari aspek ekonomi dan infrastruktur saja, melainkan juga mencakup keseluruhan sistem sosial, termasuk persoalan politik, pertahanan, pendidikan, teknologi, kelembagaan, dan budaya.

Dari sini, menarik mendiskusikan pembangunan dari perspektif budaya, sebuah aspek yang selama ini sebenarnya kurang populer dan cenderung tidak mendapatkan porsi anggaran yang memadai, padahal peranannya sangat strategis dalam keberhasilan pembangunan manusia secara jangka panjang.

Pembangunan Budaya

Melihat pembangunan dari perspektif budaya meniscayakan kita mengenal secara arif akar budaya yang melekat pada diri kita sendiri. Karena itu, aspek historis keberadaan sebuah daerah, seperti Kabupaten Luwu Timur, mutlak diketahui untuk bisa menggali kekayaan budaya yang ada di daerah tersebut.

Kabupaten Luwu Timur merupakan wilayah Kedatuan Luwu pada masa lalu. Karena itu, menggali akar budaya daerah ini tidak bisa terlepas dari kebudayaan Tana Luwu. Kedatuan Luwu digawangi oleh 12 anak suku, tersebar pada berbagai wilayah di Tana Luwu yang saat ini meliputi Kabupaten Luwu, Kota Palopo, Luwu Utara dan Luwu Timur.

Keduabelas anak suku tersebut adalah To Ugi (Bugis), To Ware, To Ala, To Raja, To Rongkong, To Pamona, To Limolang, To Seko, To Wotu, To Padoe, To Bajo, To Mengkoka.

Khusus di wilayah Luwu Timur sendiri, setidaknya terdapat 4 anak suku Luwu yang menjadi penduduk mayoritas yakni To Wotu, To Padoe, To Ugi dan To Pamona. Masing-masing anak suku tersebut memiliki tradisi kebudayaan yang khas dan perlu diwariskan dari generasi ke generasi.

Karena itu, pembangunan Luwu Timur seharusnya juga menyasar pada upaya pelestarian dan pengembangan budaya dari keempat anak suku tersebut.

Salah satu aspek kebudayaan yang penting dilestarikan adalah bahasa. “Bahasa Menunjukkan Bangsa”. Adalah pepatah populer yang menggambarkan betapa pentingnya bahasa dalam mencerminkan identitas diri suatu bangsa. Di usianya yang 15 tahun ini, Kabupaten Luwu Timur seyogyanya menempatkan pembangunan budaya, setidaknya pelestarian bahasa lokal terutama kepada generasi muda, pada posisi strategis yang perlu mendapatkan perhatian lebih.

Karena itu, dibutuhkan formulasi kebijakan, khususnya di bidang pendidikan yang memberikan ruang bagi pembelajaran berbahasa Padoe, Wotu, Ugi dan Pamona kepada para pemuda dan pelajar di daerah ini.

Kelak, mereka adalah generasi penerus dan pelestari budaya nenek moyang mereka. Jika sebuah sekolah berada di wilayah yang dominan To Padoe, maka sekolah harus mengajarkan Bahasa Padoe untuk siswanya sebagai mata pelajaran tambahan (muatan lokal). Demikian pula jika sekolahnya berada di wilayah yang dominan To Wotu, To Ugi atau To Pamona.

Selain itu, upaya pelestarian kebudayaan lokal juga harus terus dilakukan dengan mengembangkan pranata-pranata budaya lokal melalui program pembinaan berkelanjutan, mengintensifkan penelitian dan studi sejarah budaya serta kegiatan lainnya yang positif. Dengan demikian, akar budaya kita tidak mudah tergerus oleh perkembangan zaman, sekaligus menguatkan manusia Luwu Timur mewujudkan visi pembangunan Luwu Timur di masa mendatang.